Judul Asli: WIJI Thukul Di Malang
Penulis: Abdul Malik, tinggal di Kebonagung Malang, twitter@kurakurabiru
Senat Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang (FKIP Unisma) mengundang penyair Wiji Thukul dari Solo untuk mengisi momentum bersejarah dari republik ini. Berawal dari kongkow kongkow di kantin Unisma, dengan M Nur Badri (Mamack) yang saat itu juga pengurus senat mahasiswa FKIP Unisma untuk mengundang Wiji Thukul dalam acara bedah buku dan baca puisi. Sepakat. Mamack berangkat ke Solo. Di Taman Budaya Surakarta, Mamack bertanya ke seseorang dimana rumah Wiji Thukul. Dapat alamat lengkap. Mamack baru sadar bahwa orang yang memberinya alamat rumah Wiji Thukul tadi bernama Halim HD.
Ke rumah Wiji Thukul yang kedua kalinya aku diajak Mamack. Akhirnya bertemu Wiji Thukul di rumahnya di Kampung Jagalan Solo. Rumahnya kecil. Bersih.Ada rak berisi deretan buku. Dapat majalah Suara Kampung.
3 Mei 1995 Wiji Thukul baca puisi di Aula Oesman Mansoer Unisma Jl.MT Haryono 193 Malang. Peserta full. Untuk dokumentasi, aku merekam acara bedah buku dan baca puisi tersebut, sayang rekaman kaset nya hilang. Sebagian dialog Wiji Thukul dimuat dalam wawancara dengan Majalah Fenomena:
Banyak peristiwa yang bisa saya tampilkan dalam puisi.Misalnya, saya selalu tergelitik setiap kali mendengar orang berbicara soal Pemilu. Pemilu itu katanya suatu peristiwa yang sangat penting sekali bagi Indonesia. Tapi saya gelisah dan bertanya, sebenarnya arti Pemilu untuk orang kampung seperti saya itu apa? Kita semua sudah mengalami Pemilu tahun 1982, 1987 dan 1992. Orang menganggapnya sebagai suatu peristiwa yang sangat besar.Koran-koran menulis setiap hari, pers menyediakan buku-buku khusus untuk Pemilu. Televisi juga begitu. Tapi apa yang terjadi sebelum Pemilu, saat Pemilu, dan setelah Pemilu? Di kampung tidak ada yang berubah, paling-paling Cuma dapat kaos PDI, GOLKAR, dan PPP. Bahkan Pemilu yang dianggap suatu peristiwa besar ternyata tidak mampu merubah WC di kampung saya. Tahun 1982, WC di kampung saya itu dua lobang, tahun 1987 Pemilu lagi tetap dua lobang, dan tahun 1992 juga masih tetap dua lobang. Sementara penduduknya makin banyak.Nah, kalau mengubah lobang WC saja tidak bisa, bagaimana bisa mengubah suatu kehidupan yang lebih baik? Sebetulnya banyak hal-hal yang kelihatannya wajar-wajar saja, tapi kalau kita pertanyakan malah sebaliknya, dan itu mungkin saatnya digugat. Tapi, kita sudah terbiasa hidup rutin, hidup enak, tidak ada iklim bertanya bebas, berbicara bebas, sehingga kita menganggap bahwa Pemilu, pergi kuliah, bekerja, membaca buku, itu semua peristiwa biasa-biasa saja tidak ada yang istimewa.Padahal kalau kita sadari prosesnya, sebetulnya itu semua adalah hal yang luar biasa karena semuanya mengandung ilham yang tidak ada habis-habisnya.
Saat diskusi sedang berlangsung, penyair Wahyu Prasetya masuk aula dengan kondisi mabuk, membawa tanda lalu lintas STOP. Wahyu Prasetya bertanya ke Wiji Thukul:
“Kamu berbicara tentang kemiskinan tapi kamu punya televisi berwarna, kulkas dirumahmu? “
Wiji Thukul menjawab, “Kalau menulis puisi tentang rakyat miskin apa tidak boleh punya televisi berwarna”. Lalu dia membaca puisi:
Mencongkel Orang-orang pintar/Apakah gunanya jadi orang pintar/kalau ilmunya digunakan/ membodohi orang miskin.
Seru.
Seusai acara, reporter Majalah Fenomena, Itang Mahmud dan Entis Sutisna, mengadakan wawancara dengan Wiji Thukul di sekretariat Senat Mahasiswa FKIP Unisma. Wawancara Wiji Thukul “Kampus…Perpanjangan Tangan Penguasa” dimuat di Majalah Fenomena Senat Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang Edisi V, September 1995 halaman 43 sampai 45.
Di majalah tersebut Wiji Thukul menulis surat pembaca:
Kata kawanku, Fenomena apolitis, tolong dijawab dengan terbitan ! Kapan ngangkat kasus buruh? Isu-isu kerakyatan tolong diperbanyak, agar mahasiswa bangkit kembali
Selama kegiatan berlangsung, Wiji Thukul tidur di Jalan Bhimasakti (samping Unisma), sekretariat Forum Kajian 193/Kampung Galia (kini sekretariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Unisma). Aku masih ingat saat itu Wiji Thukul memakai sepatu kets warna hitam. Televisi swasta sedang gencar gencarnya menayangkan iklan bola basket NBA “I Love This Game”. Mungkin Wiji Thukul ingin mengikuti trend lewat sepatu yang dipakainya. Dia mengenakan t-shirt, baju luarnya kemeja lengan panjang, dan tas kain katun. Kalau berbicara sedikit pelat. Saat berjalan beriringan dengannya, dari sekretariat Forum Kajian 193 menuju Aula Oesman Mansoer, aku masih lebih tinggi beberapa sentimeter.
Seusai acara bedah buku dan baca puisi Wiji Thukul, Pembantu Dekan III FKIP Unisma saat itu, membuat peraturan agar kantor Senat Mahasiswa FKIP Unisma harus steril dari kegiatan di malam hari dan tidak boleh dipakai tidur. Pembantu Dekan III Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang saat itu memotret sepatu-sepatu yang ada diluar kantor senat FKIP Unisma. Beliau marah karena tidak mengetahui bahwa ada acara baca puisi Wiji Thukul di kampus Unisma. Saat itu Wiji Thukul adalah penyair yang vokal mengkritisi Orde Baru lewat puisi-puisinya.
Ketlisutnya Majalah Fenomena yang memuat wawancara dengan Wiji Thukul adalah bukti bahwa disiplin mendokumentasi kita masih amburadul. Kalau untuk karya sastra kita punya Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di Komplek Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Bagaimana kalau kita ingin membaca dan menelaah majalah pers mahasiswa edisi lawas yang pernah terbit dari kampus-kampus di Malang? Dimana mendapatkannya?
Majalah Fenomena Senat Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang Edisi V, September 1995 mengusung Laporan Utama GURU Impoten, Sekolah MANDUL, dengan desain cover garapan Mamack. Delapan belas tahun kemudian Majalah Mahasiswa Fenomena ditemukan lagi oleh Mamack di Malang, saat dia menjadi narasumber dalam studium generale ulang tahun UKM Fotografi Panorama Unisma ke-17, Sabtu, 7/12. Hanya satu eksemplar majalah yang dapat diselamatkan, sementara beberapa dus file, kliping, majalah, laporan kegiatan sudah dipindahtangankan ke pengepul barang bekas. Ironisnya sang pengepul barang loakan adalah mantan mahasiswa Unisma yang juga bergiat di komunitas teater. Dan penjual berkas beberapa dus tersebut adalah beberapa gelintir oknum mahasiswa penggemar teater yang pemabuk dan sedang membutuhkan beberapa botol vodka. Perjuangan pada tataran ideologi sering kali dipecundangi oleh oknum yang justru mengutamakan urusan perut bukan otak. Benar kata seorang kawan bahwa perut yang lapar mudah dihasut.
Hadirnya Wiji Thukul di Unisma adalah salah satu saksi hubungan persahabatanku dengan M Nur Badri (Mamack), mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris FKIP Unisma, yang kebetulan berasal dari Mojokerto. Hampir setiap hari kita berdiskusi tentang banyak hal utamanya bab kabudayan. Pagi hari biasanya kita jagongan di warkop pasar Dinoyo atau di kantin Unisma, siang hari di Warung Bu Sur depan Unisma, malam hari di ruang Senat Mahasiswa FKIP Unisma. Sepanjang tahun 1995 itu banyak hal yang terjadi berkat diskusi intens tersebut. Secara tidak langsung aku juga menjadi saksi beberapa unit kegiatan mahasiswa di Unisma yang didirikan Mamack. Yang bertahan hingga hari ini UKM Fotografi Panorama yang baru merayakan hari jadi ke-17.
Saat kita benar-benar menjadi soulmate dan saling percaya dalam satu gagasan, apapun yang kita kerjakan akan menjadi lebih mudah dan berpotensi menjadi peristiwa budaya.
INI KISAH NYATA bukan fiksi.(*)
(Penulis: Abdul Malik, tinggal di Kebonagung Malang, twitter@kurakurabiru sumber: http://sosok.kompasiana.com/2014/08/03/wiji-thukul-677776.html)