0341 – 551932, 551822 Jl. Mayjend Haryono 193 Malang
EnglishBahasa Indonesia
0341 – 551932, 551822 Jl. Mayjend Haryono 193 Malang
EnglishBahasa Indonesia

AHMAD TOHARI, BUDAYAWAN NU: BACALAH, MAKA KITA AKAN KUASAI DUNIA

29Tohari-1-15-editMALANG. UNISMA. Bersahaja. Senantiasa mengenakan peci dan wajah yang teduh, adalah citra yang ditangkap siapa saja saat bertemu H. Ahmad Tohari, yang biasa disapa Tohari, budayawan NU yang sudah mendunia. Siapa yang tak kenal Ahmad Tohari? Triloginya, Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala, merupakan tiga novel yang menjadi karya monumental Tohari. Kehadiran sosok humanis ini, Jumat, 13/11/15, ke Universitas Islam Malang (Unisma) merupakan berkah tersendiri, khususnya mahasiswa Program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia(FKIP), FKIP Unisma.

Dalam acara yang bertajuk “Sarasehan Sastra: Bahasa Sastrawi sebagai Media Pendidikan Karakter” tersebut, sastrawan asal Banyumas tersebut didaulat untuk memberikan orasi sastra. “Bangsa ini sudah lama memunggungi sastra, maka kita lihat saat ini banyak orang pandai dan cerdas, tetapi tidak memiliki empati pada orang lain. Korupsi tetapi tetap tersenyum dan tidak merasa bersalah. Betapa memalukannya perilaku tersebut. Maka sastra hadir untuk membela. Membela keadaban dan kemanusiaan.” Demikian ungkapnya. Beberapa bagian orasinya merupakan orasi kebudayaan yang disampaikan Tohari di depan Pengurus Besar (PB) NU beberapa waktu yang lalu. “Selepas orasi kebudayaan di depan PB NU maka saya dikalungi sorban, artinya saya resmi ditahbiskan sebagai penulis sastra NU.” Ujarnya tersenyum.

Dalam orasi kebudayaan tersebut, Tohari juga ‘membela diri’ dari berbagai pertanyaan kalangan NU yang mempertanyakan motivasinya menjadi penulis cerpen dan novel, sesuatu yang ‘tidak umum’ bagi trah NU. “Ayat pertama yang turun adalah Iqra’, bacalah. Saya mengamini itu.” Jelasnya. Saat ini banyak orang merasa berdosa karena meninggalkan shalat, tetapi sama sekali tidak merasa berdosa saat meninggalkan Iqra’. “Inilah penyebab bangsa kita, dan umat Islam pada umumnya tertinggal. Literasi kita kalah jauh dengan negara-negara yang saat ini memimpin dunia.” Cetusnya. Maka Tohari mengajak mahasiswa Unisma, khususnya mahasiswa PBSI untuk menulis sastra. “Tuhan tidak perlu dibela, seperti kata almarhum sahabat saya Gus Dur, tetapi yang dibela adalah amanatNya dan membela prinsip-prinsip Islami seperti kasih sayang terhadap sesama, adil, dan jujur.” Pungkasnya.

Tohari mengingatkan agar mahasiswa terus membaca karya sastra, khususnya karya sastra klasik. “Sastra tidak memberikan manfaat langsung, tetapi sastra memungkinkan pembacanya merenungkan peristiwa nyata yang diimajinasikan di dalamnya. Sehingga manusia memiliki kepekaan, tidak mudah menghakimi orang lain, dan membuat kita memiliki banyak pilihan kosa kata yang lebih tepat digunakan dalam membangun relasi dengan orang lain. Konflikpun bisa dihindarkan. Mahasiswa Unisma harus membiasakan diri membaca, karena syarat menguasai dunia hanya ada pada membaca, dan itu perintah langsung dari Allah Swt.”

Dekan FKIP, Dr. Hasan Busri dalam sambutannya mengatakan berterimakasih karena budayawan kenamaan NU tersebut berkenan hadir. “Campur tangan Allah Swt luar biasa, kita sudah lama menginginkan pak Tohari bisa hadir di Unisma, dan hari ini beliau berkenan menularkan ilmu kepenulisannya pada mahasiswa.” Tutur Dekan FKIP yang juga penggemar karya-karya Tohari. Di akhir acara, budayawan yang juga tokoh NU tersebut didaulat untuk memberikan tanda tangan di beberapa novel yang dibawa oleh mahasiswa. “Bangga dapat tanda tangan beliau di novel Ronggeng Dukuh Paruk.” Ungkap Afan, salah satu mahasiswa PBSI.

Tohari mengaku gembira dengan sambutan luar biasa dari mahasiswa Unisma, dan menitipkan pesan agar mahasiswa Unisma harus ada yang mengikuti jejaknya. November 2016, Tohari berjanji akan datang lagi di kampus Unisma. “Saya ikut bangga melihat Unisma menjadi kampus terbesar dan unggulan NU, menyesal tidak dari dulu saya berkesempatan ke sini.” Ujarnya sembari melambaikan tangan. Terimakasih Bapak Tohari, mari kita bela peradaban dan kemanusiaan dengan membaca dan menulis sastra…

 

About the author

Leave a Reply